Pengertian
dan Ruang Lingkup Metodologi
Studi Islam
Mata
Kuliah : Metodologi Studi Islam
Dosen
Pengampu : H. Mohammad
Dzofir, M.Ag.
Disusun
Oleh :
1.
Anik
Muzayanah (1540110116)
2.
Ichwan
Rinanto (1540110117)
3.
Nisa
Haryanti (1540110130)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PRODI
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
TAHUN
2016
Daftar
Isi
Pendahuluan
A. Latar Belakang
....................................................................................3
B. Rumusan Masalah ...............................................................................3
Pembahasan
A. Pengertian Metodologi Studi Islam
....................................................4
B. Ruang Lingkup Studi Islam ................................................................5
C. Pendekatan-Pendekatan
......................................................................6
Penutup
Kesimpulan
..........................................................................................16
Daftar Pustaka
......................................................................................17
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
merupakan makhluk yang eksploratif dan potensial, sehingga dalam
pengembangannya manusia mempunyai kebutuhan pokok yang mendukung stabilitas
setiap aspek kehidupan. Salah satu potensi manusia yang telah ada semenjak
lahir dalam keterkaitannya sebagai makhluk yang membutuhkan keteraturan agar
memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup adalah agama. Islam merupakan
salah satu jenis agama yang mempunyai pengikut terbesar dari aneka ragam jenis
agama dan aliran kepercayaan yang diakui dan dapat ditemukan di seluruh penjuru
dunia. Hal tersebut dikarenakan Islam adalah agama yang membawa kedamaian dan
kesejahteraan hidup dengan mempersatukan perbedaan dan menghargai hak asasi
setiap manusia, sehingga
dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat umum.
Akan
tetapi dalam kurun waktu terakhir ini terdapat fenomena yang mengejutkan
bahwa sudut pandang dunia terhadap agama
Islam adalah agama yang akrab dengan konotasi negatif, hal tersebut sangat
disayangkan hanya karena kebanyakan pelaku tindak kriminalitas maupun pelaku
dekadensi moral adalah penganut agama Islam. Fakta ironis tersebut yang menjadi
akar pemikiran bahwa studi Islam menjadi
sangat diperlukan untuk dikaji lebih mendalam, sehingga dapat ditarik benang
merah atau kesimpulan dari persoalan permasalahan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan metodologi
Studi Islam?
2. Bagaimana ruang lingkup studi islam?
3. Apa pengertian pendekatan studi Islam
dan bagaimana pembagiannya?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Metodologi Studi Islam
Metodologi
berasal dari kata dalam bahasa Yunani yaitu “metodos” (cara) dan “logos”(ilmu).
Studi berasal dari bahasa Inggris “Study” yang berarti belajar atau
pelajaran. Islam berasal
dari bahasa Arab “Salama” yang berarti selamat juga ”salm” yang
berarti damai. Jadi metodologi berarti ilmu yang mempelajari bagaimana atau
cara untuk melakukan penelitian atau kajian dalam hal ini studi Islam atau
pembelajaran mengenai agama Islam.
Ada
berbagai metode dalam studi Islam diantaranya yaitu seperti yang diungkapkan
oleh Ali Syari’ati. Beliau menggunakan metode perbandingan (komparasi) yaitu
dengan mengenal Allah dan membandingkannya dengan sesembahan umat agama
lainnya, mempelajari kitab Al-Qur’an dan membandingkannya dengan kitab-kitab
samawi lainnya, juga mempelajari tokoh-tokoh Islam terkemuka dan
membandingkannya dengan tokoh-tokoh utama agama ataupun aliran-aliran pemikiran
lain.
Selanjutnya
terdapat pula metode studi Islam yang dikemukakan oleh Nasruddin Razak yaitu
dengan metode pemahaman Islam secara menyeluruh. Menurutnya bahwa memahami
Islam secara menyeluruh sangat penting agar menjadi pemeluk agama yang mantap
dan untuk menumbuhkan sikap hormat terhadap pemeluk agama lainnya. Cara
tersebut juga ditempuh dalam upaya menghindari kesalahpahaman yang dapat
menimbulkan sikap dan pola hidup beragama yang salah pula.
Selain
itu juga ada pendapat dari Mukti Ali yaitu metode tipologi. Menurutnya metode
ini juga dapat digunakan untuk memahami agama Islam maupun agama-agama lain,
yaitu dengan membandingkan aspek dan ciri yang sama dengan agama lain seperti
aspek ketuhanan, aspek kenabian, aspek kitab suci, dan aspek keadaan sewaktu
munculnya nabi dan orang-orang yang didakwahinya serta individu-individu
terpilih yang dihasilkan oleh agama itu. [1]
Hingga
saat ini pemahaman Islam yang terjadi di masyarakat masih bercorak parsial,
belum utuh dan belum pula komprehensif. Dan sekalipun kita menjumpai adanya
pemahaman Islam yang sudah utuh dan komprehensif, namun semua itu belum
tersosialisasikan secara merata ke seluruh masyarakat Islam. Untuk membuat
Islam lebih responsif dan fungsional dalam memandu perjalanan umat serta
menjawab berbagai masalah yang dihadapi saat ini, diperlukan metode yang dapat
menghasilkan pemahaman Islam yang utuh dan komprehensif. Dalam hubungan ini
Mukti Ali mengatakan bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam
sejarah pertumbuhan ilmu.[2]
Oleh karena itu metode mempunyai peranan sangat penting dalam kemajuan dan
kemunduran peradaban.
B. Ruang Lingkup Studi Islam
Dari
segi tingkatan kebudayaan, agama merupakan universal kultural. Salah satu
prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi
akan lenyap dengan sendirinya. Karena sejak dulu hingga sekarang agama menyatakan
eksistensinya, berarti ia mempunyai peran dan fungsi di masyarakat. Di kalangan
para ahli masih terdapat perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi Islam
dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat dan
karakteristik antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda. Pembahasan di sekitar
permasalahan ini banyak dikemukakan oleh
para pemikir Islam belakangan ini.
Menurut
Amin Abdullah, pangkal
tolak kesulitan pengembangan wilayah kajian studi Islam berakar pada kesukaran
seorang agamawan untuk membedakan antara yang normativitas dan historisitas.
Perbedaan dalam melihat Islam yang demikian itu dapat menimbulkan perbedaan
dalam menjelaskan Islam itu sendiri. Ketika Islam dilihat dari sudut normatif, maka
Islam merupakan agama yang di dalamnya berisi ajaran Tuhan yang berkaitan
dengan urusan akidah dan muamalah. Sedangkan ketika Islam dilihat dari sudut
historis atau sebagaimana yang nampak dalam masyarakat, maka
Islam tampil sebagai sebuah disiplin ilmu.
Kehadiran
agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW diyakini dapat menjamin terwujudnya
kehidupan manusia yang sejahtera. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk
tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi kehidupan ini secara lebih
bermakna dalam arti yang seluas-luasnya. Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai
kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya yaitu
Al-Qur’an dan Hadits, nampak amat ideal. Islam mengajarkan kehidupan yang
dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalaui pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material
dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu,
bersikap terbuka, demokratis, mencintai kebersihan, mengutamakan persaudaraan,
berakhlak mulia dan sikap-sikap positif lainnya.
Namun
kenyataan Islam sekarang menampilkan keadaan yang jauh dari cita-cita ideal
tersebut. Ibadah yang dilakukan umat Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji
dan sebagainya hanya berhenti pada sebatas membayar kewajiban dan menjadi
lambang kesalehan, sedangkan buah dari ibadah yang berdimensi kepedulian sosial
sudah kurang nampak. Di kalangan masyarakat telah terjadi kesalahpahaman dalam
memahami dan menghayati pesan simbolis keagamaan itu. Akibat dari kesalahpahaman memahami
simbol-simbol keagamaan itu maka agama lebih dihayati sebagai penyelamatan
individu dan bukan sebagai keberkahan sosial secara bersama.
Diketahui
bahwa Islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi, yaitu mulai dari
dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan
teknologi, lingkungan hidup, sejarah, perdamaian, sampai pada kehidupan rumah
tangga, dan masih banyak lagi yang akan menimbulkan keberagamaan.
C. Pendekatan-pendekatan Studi Islam
Untuk
memahami berbagai dimensi ajaran Islam tersebut jelas memerlukan berbagai
pendekatan yang digali dari berbagai disiplin ilmu. Berikut
pendekatan-pendekatan mengenai studi Islam lebih jelasnya.
1. Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis
normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami
agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Dapat diketahui bahwa
pendekatan teologi adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau
simbol-simbol yang masing-masing darinya mengklaim bahwa dirinya yang paling
benar sedangkan yang lainnya salah. maka terjadi proses saling menuduh. Dengan
demikian antara satu aliran dengan aliran lainnya tidak terbuka dialog, yang
ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme).
Pendekatan teologis terdapat
kekurangan antara lain bersifat eksklusif, dogmatis, tidak mau mengakui kebenaran
agama lain dan sebagainya. Sedangkan kelebihannya yaitu melalui pendekatan
teologis normatif ini seseorang akan memiliki sikap militan dalam beragama
yakni berpegang teguh kepada agama yang diyakininya sebagai yang benar, tanpa
memandang dan meremehkan agama lainnya.
Pendekatan teologis ini
selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang
memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang
didalamnya belum terdapat penalaran manusia. Dalam pendekatan teologis ini
agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan
sedikitpun, dan menjunjung nilai-nilai luhur.
2. Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis
dapat dikatakan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat
wujud praktek keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Antropologi dalam
kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, bersifat partisipatif dengan
lebih mengutamakan pengamatan langsung. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan
yang sifatnya induktif dan mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana
digunakan dalam pengamatan sosiologis. Penelitian induktif yaitu turun ke
lapangan dengan upaya membebaskan diri dari kungkungan teori-teori formal yang
pada dasarnya sangat abstrak.[3] Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka
dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan
positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Golongan
masyarakat yang kurang mampu pada umumnya, lebih tertarik pada gerakan-gerakan
keagamaan yang bersifat messianis, yang menjanjikan perubahan tatanan sosial
kemasyarakatan. Sedangkan golongan kaya cenderung untuk mempertahankan tatanan
masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi yang menguntungkan pihaknya.
Melalui pendekatan
antropologis, kita melihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja
dan perkembangan ekonomi suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, maka jika kita
ingin mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang dapat dilakukan dengan
cara mengubah pandangan keagamaannya.
3. Pendekatan Sosiologis
Sosiologis adalah ilmu
yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat. Sosiologi mencoba mengerti
sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan, dan keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada
cara hidup bersama dalam tiap persekutuan hidup tersebut.
Dari definisi tersebut
terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang keadaan
masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial
lainnya yang saling berkaitan.
Pentingnya pendekatan
sosiologi dalam memahami agama dapat dipahami karena banyak sekali ajaran agama
yang berkaitan dengan masalah sosial. Besarnya perhatian agama terhadap masalah
sosial ini selanjutnya mendorong kaum agama memahami ilmu-ilmu sosial. Dalam
bukunya berjudul “Islam Alternatif”, Jalaluddin Rahmattelah menunjukkan betapa
besarnya perhatian agama (Islam) terhadap masalah sosial, dengan mengajukan
lima alasan sebagai berikut :
a. Pertama, dalam Al-Qur’an dan Hadits yang
merupakan dua sumber hukum Islam itu
berkenaan dengan urusan muamalah (sosial). Seperti yang disebutkan dalam surat
Al-Mukminun ayat 1-9, yang menjelaskan ciri-ciri orang mukmin yaitu shalatnya
khusyu’, menghindarkan diri dari perbuatan yang tidak bermanfaat,menjaga amanat
dan janjinya, dan dapat menjaga kehormatannya dari perbuatan maksiat.
b. Kedua, bahwa ditekankannya masalah
muamalah dalam Islam seperti adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah
bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh
diperpendek atau ditangguhkan (namun tentu saja bukan ditinggalkan), melainkan
tetap dikerjakan sebagaimana seharusnya.
c. Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung
segi kebersamaan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat
perseorangan. Contohnya shalat yang
dilakukan secara berjama’ah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang
dikerjakan sendirian (munfarid) dengan perbandingan pahala atau ganjaran 27
berbanding 1.
d. Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan
bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal karena melanggar suatu
pantangan, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan kegiatan sosial. Misal bila puasa tidak mampu dilakukan oleh
seseorang karena sesuatu hal, juga saat suami isteri bercampur di siang hari
pada bulan ramadhan atau ketika isteri dalam keadaan haid maka jalan keluarnya
adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan orang miskin. Dalam
hadits Qudsi dinyatakan bahwa salah satu tanda orang yang diterima shalatnya
adalah orang yang menyantuni kaum dhuafa, menyayangi orang miskin, anak yatim,
janda, dan yang mendapat musibah.[4]
e. Kelima, dalam Islam terdapat ajaran
bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapatbalasan lebih besar
daripada ibadah sunah. Seperti yang disebutkan pada hadits berikut ini:
“Orang yang bekerja
keras untukmenyantuni janda dan orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan
Allah (atau aku kira beliau berkata) dan seperti orang yang terus menerus
shalat malam dan berpuasa (H.R. Bukhari dan Muslim)
“Maukah kamu aku
beritahukan derajat apa yang lebih utama daripada shalat, puasa, dan shadaqah
(sahabat menjawab,tentu) yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar. (H.R. Abu
Daud,Tirmidzi,dan Ibn Hibban).
4. Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata
filsafat berasal dari bahasa Yunani yakni ”philo”yang berarti cinta dan “Sofia”yang
berarti kebijaksanaan, sehingga filosofi dapat diartikan cinta kepada
kebenaran, kebijaksanaan. Selain itu filsafat dapat pula berarti mencari
hakikat sesuatu, berusaha menghubungkan sebab dan akibat serta berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Berpikir secara
filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama,
dengan maksud agar inti dari ajaran agama dapat dipahami secara seksama.
Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh
para ahli. Misalnya pada buku “Hikmah al-Tasyri’ wa falsafatuhu” yang ditulis
oleh Muhammad al-Jurjawi, beliau berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat
dibalik ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran seperti berpuasa, yaitu agar dapat merasakan
penderitaan berupa lapar dan haus yang dirasakan oleh orang yang lemah,
sehingga menimbulkan rasa bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan Allah
SWT juga menimbulkan rasa iba kepada sesama yang hidup serba kekurangan.
Dengan menggunakan
pendekatan filosofis ini seseorang akan dapat memberi makna terhadap sesuatu
yang dijumpainya dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di
dalamnya. Sehingga seseorang ketika mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan
merasa kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kejenuhan. Semakin mampu
menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin meningkat sikap,
penghayatan, dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.
5. Pendekatan Historis
Sejarah atau historis
adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa yang telah
terjadi di masa lalu dengan memperhatikan unsur objek, tempat, waktu,
bagaimana, latar belakang, dan sebab dari peristiwa tersebut sehingga diperoleh
manfaat berupa ajaran. Pendekatan kesejarahan amat dibutuhkan dalam memahami
agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang kongkret bahkan
berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Dalam hubungan ini
Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama Islam menurut
pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Qur’an, lalu ia sampai pada suatu
kesimpulan yaitu pada dasarnya kandungan Al-Qur’an itu terbagi menjadi dua
bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi
kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Selanjutnya jika pada
bagian yang berisi konsep-konsep, Al-Qur’an bermaksud membentuk pemahaman yang
komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi
kisah-kisah dan perumpamaan, Al-Qur’an ingin mengajak dilakukannya perenungan
untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau
peristiwa-peristiwa historis yang berisi makna yang tersurat maupun tersirat.
6. Pendekatan Kebudayaan
Menurut Sutan Takdir
Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang
terjadi unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum,
moral, adat istiadat dan segala kecakapan lain, yang diperoleh manusia sebagai
anggota masyarakat.[5] Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya
cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang
dimilikinya. Kebudayaan selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama. Pengamalan
agama yang terdapat di masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari
sumber agama yaitu wahyu melalui penalaran, misalkan dengan membaca kitab fikih
yang merupakan nash dari Al-Qur’an dan hadits. Dengan demikian agama menjadi
membudaya di tengah-tengah masyarakat dan melalui pemahaman terhadap kebudayaan
tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama. Kita misalnya menjumpai
kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat dan sebagainya. Ke dalam produk
kebudayaan tersebut unsur agama ikut berintegrasi. Misalkan pada pakaian model
jilbab, kebaya atau lainnya dapat dijumpai dalam pengamalan agama, sebaliknya
tanpa adanya unsur kebudayaan maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara
jelas.
7. Pendekatan Psikologi
Psikologi atau ilmu
jiwa adalah adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku
yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, bahwa perilaku seseorang yang
nampak lahiriyah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya.[6]
Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat pada kedua orang
tua, hormat pada guru, menutup aurat, rela berkorban demi kebenaran dan
sebagainya merupakan contoh-contoh gejala keagamaan yang dapat dijelaskan
dengan ilmu jiwa.
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan
sikap batin seseorang, misal beriman, bertakwa, bersabar, jujur dan sebagainya
merupakan gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama. Ilmu jiwa agama menurut
Zakiah Daradjat tidak akan mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianut
seseorang, melainkan bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya
terhadap perilaku penganutnya. Dengan ilmu jiwa ini seseorang selain akan
mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan, juga dapat
digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai
dengan tingkatan usianya atau pemahamannya. Misalnya dapat mengetahui pengaruh
dari amalan ibadah seperti shalat, dzikir, zakat, puasa, sedekah dan amalan
lainnya, sehingga diharapkan dapat membentuk pribadi seseorang yang tidak hanya
baik dari luar, tetapi juga baik dari dalamnya (jiwanya).
PENUTUP
Kesimpulan
Dewasa
ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam
memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya
sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti disampaikan pada acara-acara
keagamaan saja, melainkan harus dipahami dan dikaji lebih mendalam sehingga
dapat dirasakan manfaatnya. Dari uraian yang sudah disajikan,dapat diketahui
bahwa dalam melakukan studi Islam terlebih dahulu kita harus menguasai
metodologinya. Di dalam studi Islam juga terdapat pendekatan-pendekatan yang
digunakan sebagai alat untuk memahami permasalahan, gejala, dan
fenomena-fenomena yang ada dalam masyarakat, seperti pendekatan teologis
normatif, antropologis, sosiologis, filosofis, historis, kebudayaan, dan
psikologis.
Pendekatan-pendekatan
tersebut mempunyai peran penting dalam studi Islam karena dengan demikian agama
akan menemukan cara yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai ajarannya. Juga
dapat kita ketahui bahwa agama pada hakikatnya bukan merupakan monopoli suatu
kalangan, kelompok, atau golongan tertentu saja. Melainkan agama itu milik
setiap individu yang meyakininya dan dapat dipahami setiap orang sesuai dengan
kesanggupan pemahamannya masing-masing. Dengan permasalahan yang berkembang
semakin kompleks sekarang ini agama diharapkan menjadi solusi dalam
penyelesaiannya, maka dari itu peran studi Islam menjadi sangat dibutuhkan
dalam mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata,
Abuddin. 1994. Dirasah
Islamiyah 1. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Ali, Mukti.
1990. Metodologi Ilmu Agama Islam. dalam Taufik Abdullah dan M.Rusli
Karim (ed). Dalam Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya.
Rahardjo,
M.Dawam. 1990. Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan. Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Sabiq,
Sayid. TT. Islamuna, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Arabi.
Daradjat, Zakiah. 1987. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: Bulan Bintang.
[2] A.Mukti Ali, Metodologi Ilmu Agama Islam, dalam Taufik Abdullah
dan M.Rusli Karim (ed), Dalam Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1990), cet.2, hlm. 44.
[3] M.Dawam Rahardjo,
Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), cet.2, hlm.19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar