Metode
Dakwah dengan Hikmah, Mauidhoh Hasanah, dan Mujadalah
MAKALAH
Mata
Kuliah :
Metodologi Dakwah
Dosen
Pengampu : Hasan Bastomi, M.Pd.I.
Disusun Oleh :
Kelompok 5
1.
Vela amelia
(1540110113)
2.
Nisa Haryanti (1540110130)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PRODI
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
TAHUN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
“Jika anda puas, beritahukan kepada rekan
anda. Jika anda tidak puas, beritahukan kepada kami”. Demikian pesan yang
di pasang di ruang utama restoran di Jepara. Ini
menggambarkan bahwa pelayanan lebih strategis daripada produk. Metode lebih
penting daripada pesannya, sebagaimana pepatah arab:
“teknik lebih penting daripada materinya”.
Para da’i memiliki banyak metode dan strategi
dalam mengajak manusia ke jalan Allah yang lurus ini. Dalam kaidah ilmu dakwah
terdapat banyak metode dakwah, sumber metode dakwah dan bagaimana
pengaplikasian metode dakwah Rasulullah SAW.. Dalam makalah ini penulis
berusaha untuk membahas lebih dalam mengenai pembahasan seputar metode dakwah.
B. Rumusan Masalah
1.
Pengertian
metode dakwah dan bentuk-bentunya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Metode Dakwah
Sebagaimana telah dibahas oleh kelompok
sebelumnya, dakwah merupakan suatu proses upaya mengubah suatu situasi yang
lebih baik sesuai ajaran Islam atau proses mengajak manusia ke jalan Allah SWT
yaitu agama Islam. Para ulama memberi definisi sesuai pemikiran masing-masing
sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Al-Babiy Al-Khuli bahwa dakwah adalah upaya
memindahkan situasi manusia kepada situasi yang lebih baik. Pada prinsipnya,
dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang
untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa
ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah
merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti
panggilan, seruan atau ajakan (wikipedia.org).
Sementara kata “metode”, dari aspek etimologi
atau kebahasaan berasal dari dua kata, yaitu meta (melalui) dan hodos (jalan,
cara). Dalam bahasa Yunani kata “metode” berasal dari kata “methodos” artinya
jalan. Metode disebut sebagai manhaj atau thariqat dalam bahasa Arab yang
berarti tata cara, sedang dalam kamus bahasa Indonesia kata “metode” berarti
cara yang teratur dan sigtimatis untuk pelaksanaan sesuatu; cara kerja (kamus
ilmiah populer, Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Arkola Surabaya). Jika
digabungkan dengan kata “dakwah” maka metode dakwah yaitu cara-cara atau
langkah-langkah sistematis dalam menyampaikan atau menyeru umat ke jalan Allah
SWT sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
Cara-cara ini disesuaikan dengan
kondisi-kondisi mad’u (penerima dakwah) agar pesan dapat diterima secara
maksimal oleh mad’u tersebut. Dalam hal ini perlunya dakwah dihubungkan dengan
ilmu-ilmu lain seperti antropologi, psikologi, sosiologi, filosofi, sejarah dan
lainnya. Apabila pesan dakwah diterima baik, maka dakwah tersebut bisa
dikatakan berhasil.
B.
Bentuk-Bentuk
Metode Dakwah
“Serulah (manusia) kepada
jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl [16] ayat 125).
Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa dakwah seyogyanya menggunakan cara-cara walau ayat di atas secara implisit tidak
menngungkapkan metode-metode ilmiah sebagaimana dikaji dewasa ini. Di dalam
bagian ayat di atas disebutkan:
1.
Seru dengan
hikmah dan pelajaran yang baik
2.
Bantah dengan
cara yang baik
3.
Tuhan lebih
tahu kondisi keimanan manusia.
Para pakar keilmuan menyimpulkan dari
pengertian ayat di atas bahwa ada tiga metode dalam menyampaikan dakwah.
Pertama ialah bi al-Hikmah, kedua bi al-Mauidhati al-Hasanah dan ketiga bi
al-Lati hiya ahsan.
Sebelum menjabarkan lebih jauh mengenai
metode yang disampaikan oleh para pakar, perlu diperhatikan metode-metode
dakwah lainnya selain teknis dalam menyampaikannya. Dampak dakwah merupakan
kunci selain esensi dakwah sebagai penyampai pesan. Dalam ayat di atas disebut
secara gamblang bahwa menyampaikan dakwah dan membantah pendapat lainnya harus
menggunakan cara yang baik. Cara-cara yang baik umumnya tidak menyakitkan pihak
yang lain sehingga kata tersebut sering diartikan sebagai diskusi. Segala hal
(benar atau salah) diserahkan kepada Allah SWT.
Ketegasan firman tersebut memberi gambaran atas
fenomena yang terjadi belakangan ini, di mana beberapa kelompok sparatis
radikal yang mengatasnamakan agama menyerukan dakwah dengan segala cara,
sehingga penyampaian agama lebih mirip dengan penyampaian politik.
Kelompok-kelompok tak sepaham dianggapnya kafir. Umumnya orang seperti ini
menutup telinga dari argumentasi yang disampaikan oleh orang lain. Hal ini
bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nahl tersebut di atas. Berikut akan dibahas metode-metode dakwah:
1. Metode Dakwah dengan Hikmah (Bil - Hikmah)
Secara etimologi, hikmah digunakan untuk
menunjuk kepada arti-arti seperti keadilan, ilmu, kearifan, kenabian, dan juga
al-Quran. Hikmah berasal dari kata
“hakim” yang berarti seorang yang berprofesi memutuskan perkara hukum. Hikmah
juga dapat ditafsirkan sebagai integrasi antar-ucapan dan perbuatan, ilmu yang
bermanfaat dan amal saleh, takut kepada Allah dan sikap hati-hati dalam agama,
ilmu beserta pengamalannya, hingga menjawab pertanyaan dengan cepat dan benar.
Kata hikmah juga seringkali diterjemahkan dalam pengertian bijaksana, yaitu
suatu pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan
apa yang didakwahkan atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, konflik
maupun rasa tertekan. Dalam bahasa komunikasi disebut sebagai frame of
reference, field of referene, field of experience, yaitu situasi total yang
mempengaruhi sikap pihak komunikan (objek dakwah).[1] Dakwah
bil hikmah adalah sebuah metode komunikasi dakwah yang bersifat persuasif, yang
bertumpu kepada human oriented, maka konsekuensi logisnya adalah pengakuan
kepada hak-hak yang bersifat demokratis agar fungsi dakwah yang bersifat
informatif dapat diterima dengan baik. Sebagaimana ketentuan Allah dalam Al
Quran: “Bahwasannya engkau adalah pemberi peringatan.
Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al
Ghasiyah (88): 21-22)
Al-Qahtany
mengemukakan tiga hal yang menjadi tiang dakwah dengan hikmah, yakni ilmu,
kesatuan, dan kedewasaan berpikir. Dakwah hikmah dengan ilmu berarti mengerti
tentang seluk-beluk syariat dan dasar-dasar keimanan disamping perlu juga
memahami ilmu-ilmu inovasi yang dapat memperdalam keimanan mad’u. Dakwah dengan
kesatuan adalah suatu pendekatan dakwah yang mengambil jalan tengah antara dua
titik ekstrim, emosional dan kepribadian yang berarti seorang da’i mampu
mengendalikan emosi dihadapan para mad’u sehingga ia tidak kehilangan kemampuan
untuk memikirkan atau menilai sesuatu tanpa dasar rasional. Dakwah dengan
kedewasaan berpikir, menghendaki pendekatan yang matang dalam menyampaikan
dakwah, dan tidak tergesa-gesa.
Hikmah sebagai
induk dari seluruh pendekatan dakwah, mencakup juga pendekatan dengan perkataan
yang bijak (hikmat al-qaul). Terkait dengan ini, al-Qahtany membagi kaum
muslim dalam dua kelompok, pertama, mereka yang bersikap cepat tanggap
menerima kebenaran dakwah ataumereka yang pernah disebut oleh Wahbah Zuhayli
dengan istilah assabiquna fil khairat. Menurutnya pendekatan yang tepat untuk
kelompok ini adalah melalui perkataan bijak dalam bentuk penerangan-penerangan
tentang hakikat kbenaran secara ilmiah (‘ilman), praktis (‘amalan),
dan keimanan (i’tiqadan). Kedua, yaitu kelompok mad’u yang
pengertiannya dicakup melalui terminologi al,usat – dalam
pengkategorikan Abdul Karim Zaidan. Menurut al-Qahtany, pendekatan dakwah yang
tepat adalah dengan al-mau’izhah al-hasanah, al-targhib wa al-tahrib,
perumpamaan-perumpamaan (hikmah al-qaul al-tashwiriyyah).[2]
Dengan demikian
dapat diketahui bahwa hikmah mengajak manusia menuju jalan Allah tidak terbatas
pada perkataan lembut, kesabaran,ramah tamah dan lapang dada, tetapi juga tidak
melakukan sesuatu melebihi ukurannya. Dengan kata lain harus menempatkan
sesuatu pada tempatnya.[3]
2.
Metode
Dakwah dengan Mauidhoh Hasanah
Adalah
memberikan nasihat yang baik kepada orang lain dengan cara yang baik, yaitu
petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima,
berkenan dihati,lurus pikiran sehingga pihak yang menjadi objek dakwah dengan
rela hati dan atas kesadarannya sendiri dapat mengikuti ajaran yang
disampaikan. Jadi dakwah bukan propaganda.[4]
Sedangkan menurut Ali Musthafa Ya’kub dalam
Sejarah dan Metode Dakwah Nabi dikatakan bahwa mauizhah Hasanah adalah
ucapan yang berisi nasihat yang baik dan bermanfaat bagi orang yang
mendengarkannya, atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga pihak audiensi
dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subjek dakwah.[5]
Seorang dai
harus mampu mengukur tingkat intelektualitas objek dakwahnya, sehingga apa yang
disampaikan mampu diterima dan dicerna dengan baik serta ajaran-ajaran islam
yang merupakan materi dakwah dapat teraplikasi didalam keseharian masyarakat.
Hal ini sesuai dengan pesan Rosulullah dalam sebuah hadits :“Berbicaralah
kamu dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuannya”
Adapun
pendekatan dakwah mauidhoh hasanah melalui pembinaan yaitu dilakukan dengan
penanaman moral dan etika seperti kesabaran , keberanian, menepai janji, welas
asih hingga kehormatan diri, serta menjelaskan efek dan manfaatnya dalam
kehidupan masyarakat, disamping menjauhkan mereka dari perbuatan tercela yang
dapat menghacurkan kehidupan. Menurut al-Qahtany da’i yang meghendaki mauidhah
hasanah yang tepat sasaran harus memerhatikan lima hal, sebagai berikut:
1.
Memerhatikan
dengan sksama jenis kemungkaran yang berkembang sesuai dengan konteks waktu dan
tempat.
2.
Mengukur skala
prioritas kemungkaran yang mesti lebih dahulu ditangni sesui derajat
kerusakannya di masyarakat.
3.
Memikirkan efek
yang ditimbulkan lebih jauh oleh kemungkaran ini dari segi psikis, sosial,
kesehatan, hingga finansial.
4.
Menghadirkan
argumentasi agama terkait dengan efek kemungkaran tersebut, bisa dari ayat
Alquran, hadis, perkataan sahabat atau nasihat ulama.
5.
Jika mau,
nasihat-nasihat ini dapat didokumentasikan dalam bnetuk tulisan bertema yang
mengupas bahaya suatu kemungkaran dalam hidup manusia serta memotivasi mereka
untuk bertaubat.[6]
3. Metode dakwah dengan Mujadalah
Mujadalah adalah berdiskusi dengan cara yang baik dari
cara-cara berdiskusi yang sudah ada.[7] Mujadalah merupakan cara terkahir
yang digunakan untuk berdakwah dengan orang-orang yang memiliki daya
intelektualitas dan cara berpikir yang maju. Seperti digunakan untuk berdakwah
dengan ahli kitab. Oleh karena itu al Quran juga memberi perhatian khusus
tentang berdakwah dengan ahli kitab karena mereka memang telah dibekali
pemahaman keagamaan dari utusan terdahulu. Al Quran juga melarang berdebat
dengan mereka kecuali dengan jalan yang baik.
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab (Yahudi dan
Nasrani) melainkan dengan cara yang baik. Kecuali dengan orang-orang yang
zhalim diantara mereka” QS. Al-Ankabut (29) : 46
Berbekal
ayat tersebut, kaum muslim dilarang berdebat dengan ahli ktab kecuali dengan
cara yang baik, sopan santun, lemah lembut dan menunjukkan ketinggian budi
ummat islam kecuali jika mereka menampakkan keangkuhan dan kezhaliman. Selain metode
tersebut Nabi Muhammad SAW. bersabda:
“Siapa di antara kamu melihat kemunkaran,
ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya, jika tidak
mampu, ubahlah dengan hatinya, dan yang terakhir inilah selemah-lemah iman.”
(HR. Muslim).
Dari hadits
tersebut terdapat tiga tahapan metode yaitu:
a.
Metode dengan
tangan (bilyadi), tangan di sini bisa difahami secara tektual ini
terkait dengan bentuk kemunkaran yang dihadapi, tetapi juga tangan bisa
difahami dengan kekuasaan atau power, dan metode dengan kekuasaan sangat
efektif bila dilakukan oleh penguasa yang berjiwa dakwah.
b.
Metode dengan
lisan (billisan), maksudnya dengan kata-kata yang lemah lembut, yang
dapat difahami oleh mad’u, bukan dengan kata-kata yang keras dan menyakitkan
hati.
c.
Metode dakwah
dengan hati (bilqalb), maksudnya dalam berdakwah hati tetap ikhlas,
apabila suatu saat mad'u atau objek dakwah menolak pesan yang disampaikan,
mencemoh, mengejek atau bahkan memusuhi, maka hati da’i tetap sabar, tidak
boleh membalasnya dengan kebencian, tetapi sebaliknya tetap mencintai objek dan
dengan ikhlas hati da’i hendaknya mendoakan objek supaya mendapatkan hidayah
dari Allah SWT.
Dan yang lebih utama lagi adalah bil uswatun
hasanah, yaitu dengan memberi contoh yang baik dalam segala hal.
Keberhasilan dakwah Rasulullah SAW. banyak ditentukan oleh akhlaq beliau yang
sangat mulia yang dibuktikan dalam realitas kehidupan sehari-hari masyarakat.
Seorang muballigh harus menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
A. Ismail, Ilyas. 2011. Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama
dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Bahri, Fathul. 2008. Meniti Jalan Dakwah. Jakarta: Amzah.
Muriah, Siti. 2000. Metode Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Syihata, Abdullah. 1986. Dakwah Islamiyah. Jakarta: CV
Rofindo.
Tasmara, Toto. 1987. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Media Pratama.
Ya’kub, Ali Musthafa. 1997. Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus.