aku orang yang agak pendiam, walupun pendiam tapi aku bisa membaca perasaan orang lain loh, :)

Selasa, 25 Oktober 2016

Metode Dakwah dengan Hikmah, Mauidhoh Hasanah, dan Mujadalah



Metode Dakwah dengan Hikmah, Mauidhoh Hasanah, dan Mujadalah
MAKALAH
Mata Kuliah    : Metodologi Dakwah
Dosen Pengampu : Hasan Bastomi, M.Pd.I.







Disusun Oleh :
Kelompok 5
1.      Vela amelia           (1540110113)
2.      Nisa Haryanti        (1540110130)


 
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PRODI BIMBINGAN KONSELING ISLAM
TAHUN 2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Jika anda puas, beritahukan kepada rekan anda. Jika anda tidak puas, beritahukan kepada kami”. Demikian pesan yang di pasang di ruang utama restoran di Jepara. Ini menggambarkan bahwa pelayanan lebih strategis daripada produk. Metode lebih penting daripada pesannya, sebagaimana pepatah arab:
“teknik lebih penting daripada materinya”.
Para da’i memiliki banyak metode dan strategi dalam mengajak manusia ke jalan Allah yang lurus ini. Dalam kaidah ilmu dakwah terdapat banyak metode dakwah, sumber metode dakwah dan bagaimana pengaplikasian metode dakwah Rasulullah SAW.. Dalam makalah ini penulis berusaha untuk membahas lebih dalam mengenai pembahasan seputar metode dakwah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Pengertian metode  dakwah dan bentuk-bentunya.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Metode Dakwah
Sebagaimana telah dibahas oleh kelompok sebelumnya, dakwah merupakan suatu proses upaya mengubah suatu situasi yang lebih baik sesuai ajaran Islam atau proses mengajak manusia ke jalan Allah SWT yaitu agama Islam. Para ulama memberi definisi sesuai pemikiran masing-masing sebagaimana diungkapkan oleh Syekh Al-Babiy Al-Khuli bahwa dakwah adalah upaya memindahkan situasi manusia kepada situasi yang lebih baik. Pada prinsipnya, dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan (wikipedia.org).
Sementara kata “metode”, dari aspek etimologi atau kebahasaan berasal dari dua kata, yaitu meta (melalui) dan hodos (jalan, cara). Dalam bahasa Yunani kata “metode” berasal dari kata “methodos” artinya jalan. Metode disebut sebagai manhaj atau thariqat dalam bahasa Arab yang berarti tata cara, sedang dalam kamus bahasa Indonesia kata “metode” berarti cara yang teratur dan sigtimatis untuk pelaksanaan sesuatu; cara kerja (kamus ilmiah populer, Pius A Partanto, M. Dahlan Al-Barry, Arkola Surabaya). Jika digabungkan dengan kata “dakwah” maka metode dakwah yaitu cara-cara atau langkah-langkah sistematis dalam menyampaikan atau menyeru umat ke jalan Allah SWT sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Cara-cara ini disesuaikan dengan kondisi-kondisi mad’u (penerima dakwah) agar pesan dapat diterima secara maksimal oleh mad’u tersebut. Dalam hal ini perlunya dakwah dihubungkan dengan ilmu-ilmu lain seperti antropologi, psikologi, sosiologi, filosofi, sejarah dan lainnya. Apabila pesan dakwah diterima baik, maka dakwah tersebut bisa dikatakan berhasil.

B.     Bentuk-Bentuk Metode Dakwah

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhan-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl [16] ayat 125).
Dari ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dakwah seyogyanya menggunakan cara-cara walau  ayat di atas secara implisit tidak menngungkapkan metode-metode ilmiah sebagaimana dikaji dewasa ini. Di dalam bagian ayat di atas disebutkan:
1.      Seru dengan hikmah dan pelajaran yang baik
2.      Bantah dengan cara yang baik
3.      Tuhan lebih tahu kondisi keimanan manusia.

Para pakar keilmuan menyimpulkan dari pengertian ayat di atas bahwa ada tiga metode dalam menyampaikan dakwah. Pertama ialah bi al-Hikmah, kedua bi al-Mauidhati al-Hasanah dan ketiga bi al-Lati hiya ahsan.
Sebelum menjabarkan lebih jauh mengenai  metode yang disampaikan oleh para pakar, perlu diperhatikan metode-metode dakwah lainnya selain teknis dalam menyampaikannya. Dampak dakwah merupakan kunci selain esensi dakwah sebagai penyampai pesan. Dalam ayat di atas disebut secara gamblang bahwa menyampaikan dakwah dan membantah pendapat lainnya harus menggunakan cara yang baik. Cara-cara yang baik umumnya tidak menyakitkan pihak yang lain sehingga kata tersebut sering diartikan sebagai diskusi. Segala hal (benar atau salah) diserahkan kepada Allah SWT.
Ketegasan firman tersebut memberi gambaran atas fenomena yang terjadi belakangan ini, di mana beberapa kelompok sparatis radikal yang mengatasnamakan agama menyerukan dakwah dengan segala cara, sehingga penyampaian agama lebih mirip dengan penyampaian politik. Kelompok-kelompok tak sepaham dianggapnya kafir. Umumnya orang seperti ini menutup telinga dari argumentasi yang disampaikan oleh orang lain. Hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surat An-Nahl tersebut di atas. Berikut akan dibahas metode-metode dakwah:

1.      Metode Dakwah dengan Hikmah (Bil - Hikmah)
Secara etimologi, hikmah digunakan untuk menunjuk kepada arti-arti seperti keadilan, ilmu, kearifan, kenabian, dan juga al-Quran.  Hikmah berasal dari kata “hakim” yang berarti seorang yang berprofesi memutuskan perkara hukum. Hikmah juga dapat ditafsirkan sebagai integrasi antar-ucapan dan perbuatan, ilmu yang bermanfaat dan amal saleh, takut kepada Allah dan sikap hati-hati dalam agama, ilmu beserta pengamalannya, hingga menjawab pertanyaan dengan cepat dan benar. Kata hikmah juga seringkali diterjemahkan dalam pengertian bijaksana, yaitu suatu pendekatan sedemikian rupa sehingga pihak objek dakwah mampu melaksanakan apa yang didakwahkan atas kemauannya sendiri, tidak merasa ada paksaan, konflik maupun rasa tertekan. Dalam bahasa komunikasi disebut sebagai frame of reference, field of referene, field of experience, yaitu situasi total yang mempengaruhi sikap pihak komunikan (objek dakwah).[1] Dakwah bil hikmah adalah sebuah metode komunikasi dakwah yang bersifat persuasif, yang bertumpu kepada human oriented, maka konsekuensi logisnya adalah pengakuan kepada hak-hak yang bersifat demokratis agar fungsi dakwah yang bersifat informatif dapat diterima dengan baik. Sebagaimana ketentuan Allah dalam Al Quran: “Bahwasannya engkau adalah pemberi peringatan. Kamu bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (QS. Al Ghasiyah (88): 21-22)
Al-Qahtany mengemukakan tiga hal yang menjadi tiang dakwah dengan hikmah, yakni ilmu, kesatuan, dan kedewasaan berpikir. Dakwah hikmah dengan ilmu berarti mengerti tentang seluk-beluk syariat dan dasar-dasar keimanan disamping perlu juga memahami ilmu-ilmu inovasi yang dapat memperdalam keimanan mad’u. Dakwah dengan kesatuan adalah suatu pendekatan dakwah yang mengambil jalan tengah antara dua titik ekstrim, emosional dan kepribadian yang berarti seorang da’i mampu mengendalikan emosi dihadapan para mad’u sehingga ia tidak kehilangan kemampuan untuk memikirkan atau menilai sesuatu tanpa dasar rasional. Dakwah dengan kedewasaan berpikir, menghendaki pendekatan yang matang dalam menyampaikan dakwah, dan tidak tergesa-gesa.
Hikmah sebagai induk dari seluruh pendekatan dakwah, mencakup juga pendekatan dengan perkataan yang bijak (hikmat al-qaul). Terkait dengan ini, al-Qahtany membagi kaum muslim dalam dua kelompok, pertama, mereka yang bersikap cepat tanggap menerima kebenaran dakwah ataumereka yang pernah disebut oleh Wahbah Zuhayli dengan istilah assabiquna fil khairat. Menurutnya pendekatan yang tepat untuk kelompok ini adalah melalui perkataan bijak dalam bentuk penerangan-penerangan tentang hakikat kbenaran secara ilmiah (‘ilman), praktis (‘amalan), dan keimanan (i’tiqadan). Kedua, yaitu kelompok mad’u yang pengertiannya dicakup melalui terminologi al,usat – dalam pengkategorikan Abdul Karim Zaidan. Menurut al-Qahtany, pendekatan dakwah yang tepat adalah dengan al-mau’izhah al-hasanah, al-targhib wa al-tahrib, perumpamaan-perumpamaan (hikmah al-qaul al-tashwiriyyah).[2]
Dengan demikian dapat diketahui bahwa hikmah mengajak manusia menuju jalan Allah tidak terbatas pada perkataan lembut, kesabaran,ramah tamah dan lapang dada, tetapi juga tidak melakukan sesuatu melebihi ukurannya. Dengan kata lain harus menempatkan sesuatu pada tempatnya.[3]
 
2.      Metode Dakwah dengan Mauidhoh Hasanah
Adalah memberikan nasihat yang baik kepada orang lain dengan cara yang baik, yaitu petunjuk-petunjuk ke arah kebaikan dengan bahasa yang baik, dapat diterima, berkenan dihati,lurus pikiran sehingga pihak yang menjadi objek dakwah dengan rela hati dan atas kesadarannya sendiri dapat mengikuti ajaran yang disampaikan. Jadi dakwah bukan propaganda.[4]
Sedangkan menurut Ali Musthafa Ya’kub dalam Sejarah dan Metode Dakwah Nabi dikatakan bahwa mauizhah Hasanah adalah ucapan yang berisi nasihat yang baik dan bermanfaat bagi orang yang mendengarkannya, atau argumen-argumen yang memuaskan sehingga pihak audiensi dapat membenarkan apa yang disampaikan oleh subjek dakwah.[5]
Seorang dai harus mampu mengukur tingkat intelektualitas objek dakwahnya, sehingga apa yang disampaikan mampu diterima dan dicerna dengan baik serta ajaran-ajaran islam yang merupakan materi dakwah dapat teraplikasi didalam keseharian masyarakat. Hal ini sesuai dengan pesan Rosulullah dalam sebuah hadits :“Berbicaralah kamu dengan manusia sesuai dengan kadar kemampuannya”
Adapun pendekatan dakwah mauidhoh hasanah melalui pembinaan yaitu dilakukan dengan penanaman moral dan etika seperti kesabaran , keberanian, menepai janji, welas asih hingga kehormatan diri, serta menjelaskan efek dan manfaatnya dalam kehidupan masyarakat, disamping menjauhkan mereka dari perbuatan tercela yang dapat menghacurkan kehidupan. Menurut al-Qahtany da’i yang meghendaki mauidhah hasanah yang tepat sasaran harus memerhatikan lima hal, sebagai berikut:
1.      Memerhatikan dengan sksama jenis kemungkaran yang berkembang sesuai dengan konteks waktu dan tempat.
2.      Mengukur skala prioritas kemungkaran yang mesti lebih dahulu ditangni sesui derajat kerusakannya di masyarakat.
3.      Memikirkan efek yang ditimbulkan lebih jauh oleh kemungkaran ini dari segi psikis, sosial, kesehatan, hingga finansial.
4.      Menghadirkan argumentasi agama terkait dengan efek kemungkaran tersebut, bisa dari ayat Alquran, hadis, perkataan sahabat atau nasihat ulama.
5.      Jika mau, nasihat-nasihat ini dapat didokumentasikan dalam bnetuk tulisan bertema yang mengupas bahaya suatu kemungkaran dalam hidup manusia serta memotivasi mereka untuk bertaubat.[6]

3.      Metode dakwah dengan Mujadalah
Mujadalah adalah berdiskusi dengan cara yang baik dari cara-cara berdiskusi yang sudah ada.[7] Mujadalah merupakan cara terkahir yang digunakan untuk berdakwah dengan orang-orang yang memiliki daya intelektualitas dan cara berpikir yang maju. Seperti digunakan untuk berdakwah dengan ahli kitab. Oleh karena itu al Quran juga memberi  perhatian khusus tentang berdakwah dengan ahli kitab karena mereka memang telah dibekali pemahaman keagamaan dari utusan terdahulu. Al Quran juga melarang berdebat dengan mereka kecuali dengan jalan yang baik.
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) melainkan dengan cara yang baik. Kecuali dengan orang-orang yang zhalim diantara mereka” QS. Al-Ankabut (29) : 46
Berbekal ayat tersebut, kaum muslim dilarang berdebat dengan ahli ktab kecuali dengan cara yang baik, sopan santun, lemah lembut dan menunjukkan ketinggian budi ummat islam kecuali jika mereka menampakkan keangkuhan dan kezhaliman. Selain metode tersebut Nabi Muhammad SAW. bersabda:
Siapa di antara kamu melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan yang terakhir inilah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim).
Dari hadits tersebut terdapat tiga tahapan metode yaitu:
a.       Metode dengan tangan (bilyadi), tangan di sini bisa difahami secara tektual ini terkait dengan bentuk kemunkaran yang dihadapi, tetapi juga tangan bisa difahami dengan kekuasaan atau power, dan metode dengan kekuasaan sangat efektif bila dilakukan oleh penguasa yang berjiwa dakwah.
b.      Metode dengan lisan (billisan), maksudnya dengan kata-kata yang lemah lembut, yang dapat difahami oleh mad’u, bukan dengan kata-kata yang keras dan menyakitkan hati.
c.       Metode dakwah dengan hati (bilqalb), maksudnya dalam berdakwah hati tetap ikhlas, apabila suatu saat mad'u atau objek dakwah menolak pesan yang disampaikan, mencemoh, mengejek atau bahkan memusuhi, maka hati da’i tetap sabar, tidak boleh membalasnya dengan kebencian, tetapi sebaliknya tetap mencintai objek dan dengan ikhlas hati da’i hendaknya mendoakan objek supaya mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Dan yang lebih utama lagi adalah bil uswatun hasanah, yaitu dengan memberi contoh yang baik dalam segala hal. Keberhasilan dakwah Rasulullah SAW. banyak ditentukan oleh akhlaq beliau yang sangat mulia yang dibuktikan dalam realitas kehidupan sehari-hari masyarakat. Seorang muballigh harus menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.








DAFTAR PUSTAKA


A. Ismail, Ilyas. 2011. Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Bahri, Fathul. 2008. Meniti Jalan Dakwah. Jakarta: Amzah.

Muriah, Siti. 2000. Metode Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Syihata, Abdullah. 1986. Dakwah Islamiyah. Jakarta: CV Rofindo.

Tasmara, Toto. 1987. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Media Pratama.

Ya’kub, Ali Musthafa. 1997. Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

www.wikipedia.co.id. (akses 21 Oktober 2016. Pukul 13:20).




[1] Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Media Pratama, 1987), hlm. 37.
[2] A. Ilyas Ismail, Filsafat Dakwah Rekayasa Membangun Agama dan Peradaban Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), Hlm. 201-204.
[3] Siti Muriah, Metode Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), hlm. 42-43.
[4] Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2008),  hlm. 250.
[5] Ali Musthafa Ya’kub, Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hlm. 21.
[6] A. Ilyas Ismail, ..., hlm. 205-206.
[7] Abdullah Syihata, Dakwah Islamiyah, (Jakarta: CV Rofindo, 1986), hlm. 22.